BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah
SWT. Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama
lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam
segala urusan kepentingan hidup masing-masing, salah satunya adalah
dengan jual beli, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk
kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur
dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi,
sifat loba atau tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri
supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjadi
kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur.
Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi
manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi
antara satu dengan yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang
telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari
kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan
peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli. Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat
untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan
berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual
beli harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah
untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam
mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini sehingga tidak
mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut syariat
Islam.
Jual beli (al-bai’) adalah pertukaran
sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah,
danat-tijaarah. Allah membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak
melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya
dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Jika
asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual ada
juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
dan dasar hukum jual beli?
2.
Apa saja
rukun dan syarat jual beli?
3.
Apa saja hal-hal yang terlarang dalam jual
beli?
4.
Hikmah apa sajakah yang dapat diambil
dari kegiatan jual beli?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui dan memahami arti, dasar
hukumnya, rukunnya jual beli.
2.
Dapat memaknai sekaligus mampu
menerapkan jual beli yang islami/sah dalam kehidupansehari-hari.
3.
Dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang
menyangkut jual beli yang tidak sah.
4.
Mengetaui hikmah jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Perdagangan
atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai',
al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah
SWT :
يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُور
“Mereka
mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS.
Fathir : 29)”
Secara
bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu
dengan sesuatu.
1.
Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah
Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة
مال بمال تمليكا) yang berarti : tukar menukar harta dengan harta
secara kepemilikan.
2.
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan
bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال
تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan
kepemilikan dan penguasaan.
Sehingga
bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar
barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan".
B. Dasar
Masyru'iyah
Jual-beli
adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah
rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan
Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah
: 275)”
Sedangkan
dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ
اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ
اَللَّهِ قَالَ: إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ
يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ
فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ
أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ
اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari
Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan
jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara
membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih
bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar
kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu
mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq
alaih)
عَنْ
رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ سُئِلَ: أَيُّ
اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ
بَيْعٍ مَبْرُورٍ - رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari
Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: “Pekerjaan apakah
yang paling baik?”. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan
setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar.)[4]
وَعَنْ
أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ
وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari
Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil uang
penjualan anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)”
C. Hukum
Jual Beli
Secara
asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan.
Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum
jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari
kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW.
Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW. [5]
D. Rukun
Jual-beli
Sebuah
transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa
adanya rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya.
Rukunnya
ada tiga perkara, yaitu:
1.
Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual
dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah
untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku
yang harus berakal dan baligh.
Dengan
rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual
atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari
mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian
juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah,
kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat
kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa,
jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana
dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan
sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya
yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah
utusan atau suruhan saja.
2.
Adanya Akad
Penjual
dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu
seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu
pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian
ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali
bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun
ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistemmu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan
pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3.
Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun
yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama
menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat
tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah,
maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a.
Suci
Benda
yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau
mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain
bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[6] dan lainnya.
Dasarnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ
وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ
وَالأَصْنَامِ
Dari
Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah
pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman
keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
b.
Punya Manfaat
Yang
dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga
sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan
atau merugikan manusia. Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli
hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular
atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka
juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat
yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik.
Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka
jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda
yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan
alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.[7]
c.
Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak
sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang
tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
Yang
dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh
seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan
transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan
yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari
pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam
prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang
menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan
miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun
transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil,
karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual
barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
“Tidak
sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak.
Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak
untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang
memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya.” (HR. Tirmizi - Hadits
hasan)
Walau
pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini lemah, namun Imam
An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga
derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam
pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan
oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada
persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh
bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu
ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi
bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya
adalah hadits berikut ini :
'Urwah
ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk
beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah
satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan
seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun
bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR.
Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.
Bisa Diserahkan
Menjual
unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta
masih bisa ditemukan atau tidak.
Demikian
juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa
diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum.
Demikian
juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan,
kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para
ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari
pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e.
Harus Diketahui Keadaannya
Barang
yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah
kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi
kualitasnya.
Dari
segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya sample- oleh penjual
dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam
karung.
Dari
segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau
panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di
masanya.
Dalam
jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik
dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor,
disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan
kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di
masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan
disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak
rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya
syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang
seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
Dengan
membuat daftar spesifikasi barang secara :
·
Tertera di brosur atau kemasan tentang
data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi
listrik dan lainnya.
·
Dengan membuka bungkus contoh barang yang
bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
·
Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan
bila mengalami masalah.
E.
Terlarangnya Jual Beli Karena Cacatnya Rukun
Dan Syarat
a.
Jual Beli Terlarang Karena Sebab Pelaku (Ahliah)
Para
Ulama sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang
yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan
baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sebagai berikut:
1.
Jual-beli orang gila
Ulama
fiqh sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah, begitu pula sejenisnya, sebagai
contoh, jual beli orang mabuk, dll.
2.
Jual-beli anak kecil
Ulama
fiqh sepakat bahwasanya jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dipandang
tidak sah, kecuali dalam hal atau perkara yang sepele.
3.
Jual-beli orang buta
Jual
beli orang buta dianggap shahih menurut jumhur ulama jika barang
yang dibelinya diterangkan sifat-sifatnya.
4.
Jual beli terpaksa
Menurut
ulama Hanafiyah, hukum jual beli terpaksa, keabsahannya ditangguhkan sampai
hilang rasa terpaksa.
5.
Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain
tanpa seizin pemiliknya
6.
Jual-beli orang terhalang
Yang
dimaksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut atau
sakit.
7.
Jual-beli malja,
Yaitu
jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan
dzalim.
b.
Jual Beli Terlarang Karena Sebab Maqud ‘Alaih
(Obyek Transaksi)
Secara
umum, ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang
akad, yang biasa disebut barang jualan dan harga. Ulama fiqih sepakat bahwa
jual beli dianggap sah apabila ma'qud 'alaih adalah barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang yang akad,
tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan syara'.
Selain
itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian Ulama, tetapi
diperselisihkan oleh sebagian yang lain.
1. Jual-beli
benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.
Jumhur
Ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan t idak ada adalah tidak sah
2. Jual-beli
barang yang tidak dapat diserahkan.
Jual
beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau
ikan yang ada di air tanpa berdasarkan ketetapan syara'.
3. Jual-beli
barang yang tidak jelas (majhul).
Menurut
ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur
ulama adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan.
4. Jual-beli
buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.
Apabila
belum terdapat buah, disepakati tidak sah. Bila telah ada buah tetapi belum
matang, akadnya fasid menurut Ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur Ulama,
adapun juka buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang maka akadnya sah.
Keseluruhan
jual beli di atas masuk kedalam transaksi gharar.
c.
Jual Beli Gharar
Menurut
bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan).
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh
As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam
kategori perjudian. Sehingga, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian,
yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.Jual beli gharar atau yang mengandung ketidakpastian
dilarang dalam Islam.
Macam-macam jual beli gharar :
1.
Bai’ Ma’dum
Yaitu
jual beli barang yang tidak ada atau belum ada (misal :
menjual anak kambing yang masih dalam
kandungan). Pelarangan Ba’i
Ma’dum ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan “Janganlah kamu
menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R. Khamsah dari Hakim Bin
Hizam). Namun Bay’ Ma’dum bisa dilakukan bila
barang yang dijual dapat diukur dengan pasti dan dan penyerahannya bisa
dipastikan sesuai ‘urf.
Contohnya:
·
Menjual
anak onta yang masih dalam kandungan
·
Menjual
buah yang masih di pohon (belum matang)
·
Menjual
susu hewan yang masih di teteknya (Bisa kelihatan besar, ternyata isinya lemak,
susunya cair), disini ada spekulasi, tidak jelas
·
Jual
beli barang yang tidak/belum ada
2.
Bai Ma’juz at-Taslim
Yaitu
jual beli yang sulit dalam penyerahan barangnya (misal : menjual motor yang
hilang atau hp yang hilang yang masih dalam pencarian).
Contohnya:
·
Jual beli motor yang hilang dan masih dalam
pencarian
·
Jual
beli HP yang masih dipinjam orang (teman) yang kabur
·
Jual-beli
tanah properti yang belum jelas statusnya (pembebasannya)
·
Menjual
burung piaraan (seperti merpati) yang mungkin kembali ke sarangnya.
3.
Ba’i
Majhul
Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jeni, merek atau
kuantitasnya (misal: menjual radio yang tidak dijelakan mereknya). Bila
tingkat majhulnya kecil sehingga tidak menyebabkan pertentangan, maka jual beli
sah, karena keidak tahuan tidak menghalangi penyerahan dan penerimaan barang
(misal : jual beli buah berdasarkan kiloan tetapi secara tumpukan).
Contohnya:
·
Yaitu
jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek atau kuantitasnya.
·
Seperti
jual beli murabahah HP Nokia yang tidak dijelaskan tipenya.
·
Jual
beli radio yang tidak dijelaskan merknya.
·
Jual
beli ini dilarang karena mengandung gharar (tidak jelas, tidak pasti yang mana
produk yang mau dibeli).
4.
Ba’i
Juzaf (Taksir)
Yaitu jual beli barang yang biasa ditakar,
ditimbang dan dihitung, tetapi dilakukan secara taksir/ perkiraan (misal :
menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya).
Contohnya:
·
Menjual
setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya secara pasti
·
Menjual
setumpuk buah tanpa mengetahui beratnya
·
Menjual
setumpuk ikan tanpa mengetahuai berapa kg
·
Menjual
setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya
5.
Ba’i
Muhaqalah
Yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah
(Ijon).
6.
Ba’i
Mukhadarah
Yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen.
7.
Ba’i
Mulamasah
Yaitu jual beli yang terjadi dengan cara hanya menyentuh
suatu barang secara acak (misal: seseorang yang menyentuh sebuah produk dengan tangannya di
waktu malam, maka orang yang telah menyentuh kain berarti telah membeli kain
tersebut).
Contohnya:
Jual
beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sebuah produk dengan
tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah
membeli kain tersebut
Jual beli ini dilarang jarena mengandung gharar. Tidak
jelas barang mana yang disentuh
8.
Ba’i
Munabazah
Yaitu jual beli secara lempar-melempar, sehingga barang
tidak jelas dan tidak pasti.
Contohnya:
·
Jual
beli secara lempar-melempar, sehingga objek barang tidak jelas dan tidak pasti,
apakah barang A, B, C atau lainnya
·
Seperti
seorang berkata, “Lemparkan padaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula
padamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi saling
melempar barang, maka terjadilah jual-beli
·
Jual
beli ini juga dilarang karena mengandung gharar
9.
Ba’i
Muzabanah (Barter Buah-buahan)
Yaitu jual beli yang menggunakan makanan yang masih belum
jelas sebagai alat pembayarnya (misal : buah-buahan saat masih di atas pohon
yang masih basah / belum bisa dimakan dijual sebagai pembayar untuk memperoleh
kurma untuk dimakan).
Contohnya:
·
Buah-buahan
ketika masih di atas pohon yang masih basah (belum bisa dimakan) dijual sebagai
alat pembayar untuk memperoleh kurma dan anggur kering (bisa dimakan). Penyerahannya
di masa depan (future).
·
Jual
beli ini dilarang karena buah yang di atas pohon belum bisa dipastikan kualitas
dan kuantitasnya. Jadi hanya berdasarkan perkiraan/taksiran. Karena itu Rasul
saw melarang.
·
Karena
dikhawatirkan salah satu pihak ada yang dirugikan. Jual beli ini juga
mengandung gharar.
10. Bai’ Hashah
Yaitu jual beli dimana pembeli menggunakan kerikil dalam
jual beli (kerikil dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual, dan
kerikil yang mengenai suatu barang akan dibeli dan ketika itu terjadilah jual
beli).
11. Hablul Habalah
·
Seseorang
menjual seekor anak onta yang masih berada dalam perut induknya.
·
Jual
beli semacam ini dilarang, karena mengandung gharar (ketidakpastian)
12. Madhamin
dan Malaqih
·
Madhamin
ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan pejantan
kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil
perkawinan itu menjadi milik pembeli.
·
Malaqih,
Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan
d.
Jual Beli Terlarang Karena Objeknya Haram Dan
Tidak Baik
Berikut
adalah beberapa contoh jual beli yang dilarang karena haram dan tidak
thoyyib-nya objek jual beli.
·
Jual Beli Salib (simbol agama kristen)
·
Jual Beli Patung Yesus atau fotonya
·
Jual beli wanita dan anak bayi
·
Jual beli / Bisnis CD porno, majalah porno,dll
·
Jual Beli Narkoba dan segala barang lainnnya
·
Membeli barang yang keuntungannya untuk musuh
Islam
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual
beli merupakan salah satu ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah yaitu “ijab-qabul”, taradli,
tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada penipuan, pemalsuan,
penimbunan dan lain sebagainya yang bersumber dari indera manusia yang ada
kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan manusia.
Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat
merusaknilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang
penulisan ini dilakukan untuk
memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli,
rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar
terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan
islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untukitu penulis
menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatanyang bersifat
kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untukmensejahterakan kehidupan rakyat
terutama dalam bidangperekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial,
jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli
islam ini sudahdapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Abdullah al Mushlih,Prof Dr.Shalah ash-Shawi,
Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
Prof.
DR. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka
Setia 2001.
H.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010
Departemen Agama RI, Al-hidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata
Tajwid Kode Angka, Banten, Kalim, 2012
http://masudkhan2000.blogspot.com/2013_01_01_archive.html
A Guide to Iron-Stag - Titanium Auctor Art
BalasHapusThe world of titanium curling iron Iron-Stag has always ion chrome vs titanium been an exciting time for Iron-Stag designers. titanium bolts This is titanium fitness where implant grade titanium earrings a standard design is formed.